Seperti yang
kita ketahui, kasus Prita Mulyasari merupakan kasus pelanggaran terhadap UU ITE
yang mengemparkan Indonesia. Nyaris berbulan-bulan kasus ini mendapat sorotan
masyarakat lewat media elektronik, media cetak dan jaringan sosial seperti
facebook dan twitter.
Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah
tangga, mantan pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra Tangerang. Saat
dirawat di Rumah Sakit tersebut Prita tidak mendapat kesembuhan namun
penyakitnya malah bertambah parah. Pihak rumah sakit tidak memberikan
keterangan yang pasti mengenai penyakit Prita, serta pihak Rumah Sakitpun tidak
memberikan rekam medis yang diperlukan oleh Prita. Kemudian Prita Mulyasari
mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui surat elektronik yang
kemudian menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak
Rumah Sakit Omni Internasional marah, dan merasa dicemarkan.
Lalu RS Omni International mengadukan
Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus
bersalah dalam pengadilan perdata. Dan waktu itupun Prita sempat ditahan di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal
pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Kasus ini kemudian banyak menyedot perhatian publik yang
berimbas dengan munculnya gerakan solidaritas “Koin Kepedulian untuk Prita”.
Pada tanggal 29 Desember 2009, Ibu Prita Mulyasari divonis Bebas oleh
Pengadilan Negeri Tangerang.
Contoh kasus di atas merupakan contoh kasus mengenai pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 pasal 27 ayat 3 tahun 2008 tentang UU ITE. Dalam pasal tersebut tertuliskan bahwa: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan /atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.
Contoh
Pelanggaran UU-ITE [pasal 30 (3)]
Contoh Cyber-Crime Indonesia berdasarkan
pasal 30 [3] UU-11-2008 dengan ancaman pidana maksimum 8 tahun denda maksimum
Rp.800juta – pasal 46 [3].
Pasal 30
1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang
lain dengan cara apa pun.
2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara
apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
3. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara
apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.
Pasal 46
1. Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta
rupiah).
3. Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
JENIS JENIS
PELANGGARAN DUNIA MAYA (DEFKOMINFO)
1. Padang ( Berita ) : Departemen Komunikasi
dan Informasi (Depkominfo) menetapkan tiga jenis pelanggaran hukum yang terjadi
dalam memanfaatkan sistim komunikasi teknologi informasi atau dikenal dengan
istilah kejahatan di “dunia maya”.
2. Jenis pelanggaran itu diatur dan
ditentukan sanksi hukumnya dalam RUU Informasi dan transaksi elektronik (ITE)
yang akan disahkan DPR-RI, kata Dirjen Aplikasi Telematika, Departemen
Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) RI, Ir Cahyana Ahmadjayadi dalam
penjelasan tertulis di Padang, Rabu (30/05).
3. Hal itu disampaikannya terkait pembahasan
RUU ITE yang tengah dilakukan DPR-RI dan kini dalam tahap sosialisasi kepada
publik dengan melibatkan pemerintah (Departemen Komunikasi dan Informasi RI).
4. Kejahatan itu meliputi, pelanggaran isi
situs web, pelanggaran dalam perdagangan secara elektronik dan pelanggaran
bentuk lain.
5. Kejahatan isi situs web terdiri dari
pornografi dan pelanggaran hak cipta, ujarnya.
6. Pornografi merupakan pelanggaran paling
banyak terjadi di “dunia maya” dengan menampilkan foto, cerita atau gambar
bergerak yang pemuatannya selalu berlindung dibalik hak kebebasan berpendapat
dan berserikat.
7. Alasan ini, sering digunakan di Indonesia
oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pornografi itu, sehingga situs-situs porno
tumbuh subur karena mudah diakses melalui internet.
8. Sementara itu, pelanggaran hak cipta
sering terjadi baik pada situs web pribadi, komersial maupun akademisi berupa,
memberikan fasilitas download gratis baik foto, lagu, softwere, filem dan karya
tulis dilindungi hak ciptanya.
9. Selain itu, menampilkan
gambar-gambar dilindungi hak cipta
untuk latar belakang atau hiasan “web pages” dan merekayasa gambar atau foto
orang lain tanpa izin, seperti banyak terjadi pada situs-situs porno.
10. Selanjutnya
11. Menurut Cahyana, penipuan online ciri-cirinya
harga produk yang banyak diminati sangat rendah, penjual tidak menyediakan
nomor telepon, tidak ada respon terhadap pertanyaan melalui e-mail dan
menjanjikan produk yang sedang tidak tersedia.
12. Resiko terburuk bagi korban kejahatan ini
adalah telah membayar namun tidak mendapat produk, atau produk yang didapat
tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
13. Kemudian, penipuan pemasaran berjenjang
online ciri-cirinya mencari keuntungan dari merekrut anggota dan menjual produk
secara fiktif dengan resiko bagi korban, 98 persen investasi ini gagal atau
rugi.
14. Sedangkan penipuan kartu kerdit ciri-cirinya
terjadi biaya misterius pada penagihan kartu untuk produk atau layanan internet
yang tidak pernah dipesan dengan resiko, korban perlu waktu untuk melunasi
kreditnya.
15. Sementara itu, pelanggaran dalam bentuk lain
terdiri dari recreational hacker, cracker atau criminal minded hacker, political
hacher, denial of service attack (DoS), Viruses, Piracy (pembajakan), Fraud,
Phishing, perjudian dan cyber stalking.
16. Ia menjelaskan, recreational hacker umumnya
bertujuan hanya untuk menjebol suatu sitim dan menunjukkan kegagalan atau
kurang andalnya sistim keamanan pada suatu perusahaan.
17. Cracker atau criminal minded hacker
motivasinya antara lain untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan melakukan
sabotase sampai pada penghancuran data.
18. Political hacher merupakan aktivitas politik
melalui suatu situs web untuk menempelkan pesan atau mendiskreditkan lawan.
19. Denial of service attack (DoS) merupakan
penyerangan dengan cara membanjiri data yang besar dan mengakibatkan akses ke
suatu situs web menjadi sangat lambat atau berubah menjadi macet atau tidak
bisa diakses sama sekali.
20. Viruses berupa penyebaran sedikitnya 200
virus baru melalui internet dan biasanya disembunyikan dalam file atau e-mail
yang akan di download atau melalui jaringan internet dan disket.
21. Piracy berupa pembajakan perangkat lunak yang
menghilangkan potensi pendapatan suatu perusahaan yang memproduksinya seperti,
games, aplikasi bisnis dan hak cipta lainnya.
22. Fraud merupakan kegiatan manipulasi informasi
khususnya tentang keuangan dengan target mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
23. Phishing merupakan teknik mencari personal
information berupa alamat e-mail dan nomor account dengan mengirimkan e-mail
seolah-olah datang dari bank bersangkutan.
24. Perjudian bentuk kasiono banyak beroperasi di
internet yang memberi peluang bagi penjahat terorganisasi melakukan praktek
pencucian uang dimana-mana.
25. Cyber stalking merupakan segala bentuk
kiriman e-mail yang tidak diinginkan penerimaannya dan termasuk tindakan
pemaksaan atau “perkosaan”, demikian Cahyana Ahmadjayadi.
26. Polri
27. Penindakan kasus “cyber crime” (kejahatan
menggunakan fasilitas teknologi informasi) oleh jajaran Polri sering mengalami
hambatan, terutama menangkap tersangka dan penyitaan barang bukti.
28. Dalam penangkapan tersangka, anggota Polri
sering tidak dapat menentukan secara pasti siapa pelaku cyber crime itu, kata
Kepala Unit IT dan Cyber-crime, Badan Reserse dan Kriminal, Mabes Polri, Kombes
(Pol) Petrus Reinhard Golose dalam penjelasan tertulis di Padang, Rabu.
29. Hal itu disampaikannya terkait pembahasan RUU
ITE yang tengah dilakukan DPR-RI dan kini dalam tahap sosialisasi kepada publik
dengan melibatkan pemerintah (Departemen Komunikasi dan Informasi RI).
30. Ia menyebutkan, hambatan ini terjadi karena
tersangka melakukan cybers crime melalui komputer yang dapat dilakukan dimana
saja, tanpa ada yang mengetahui sehingga tidak ada saksi melihat langsung.
31. Menurut dia, hasil pelacakan paling jauh
hanya dapat menemukan IP addres dari pelaku dan komputer yang digunakan.
32. Hasil itu akan semakin sulit, apabila
tersangka melakukannya di warung internet (warnet), karena saat ini jarang
pengelola warnet melakukan registrasi terhadap pengguna jasa.
33. Dalam kondisi ini, Polri tidak dapat
mengetahui siapa yang menggunakan komputer tersebut saat terjadi tindak pidana
cyber crime, ujarnya.
34. Kendala juga terjadi pada penyitaan barang
bukti dengan banyaknya permasalahan, karena biasanya pihak pelapor sangat
lamban melakukan pelaporan sehingga
data serangan di log server sudah dihapus dan biasanya terjadi pada kasus
deface.
35. Akibatnya, penyidik menemui kesulitan dalam
mencari log statistik yang terdapat dalam server, karena biasanya secara
otomatis server menghapus log yang ada untuk mengurangi beban.
36. Hal ini juga membuat penyidik tidak menemukan
data yang dibutuhkan dijadikan barang bukti, sedangkan log statistik merupakan
salah satu bukti vital dalam kasus hacking untuk menentukan arah datangnya
serangan, tambahnya.
37. Lebih lanjut, Petrus mengatakan, guna meningkatkan penanganan cyber crime yang
kasusnya makin meningkat, maka Polri berupaya melakukan pembenahan personil,
sarana prasarana, kerjasama dan koornidasi, sosialisasi dan pelatihan.
38. Dalam hal personil, ia mengakui, Polri masih
mengalami keterbatasan SDM yang tidak bisa diabaikan. Untuk itu Polri mengirim
anggotanya mengikuti kursus penanganan kasus ini seperti ke CETS Canada,
Internet Investigation di Hongkong, Virtual Undercover di Washington dan
Computer Fortensic di Jepang.
39. Dalam sarana prasarana, Polri berupaya
meng-update dan upgrade teknologi informasinya dengan fasilitas Encase versi 4
dan 5, CETS, COFFE, GSM Interceptor, GI2, GN 9000, DF dan Helix.
40. Kerjasama dan koordinasi dengan pihak lain
diupayakan bersifat bordeless dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga bisa
berkoordinasi aparat penegak hukum negara lain.
41. Sedangkan sosialisasi dan pelatihan dilakukan
ke Polda-Polda dan penegak hukum
lainnya (jaksa dan hakim) agar memiliki kesamaan tindak dan persepsi mengenai
cybers crime terutama dalam pembuktian, penggunaan barang bukti, penyidikan,
penuntutan dan pengadilan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,
tambah Petrus Reinhard Golose. (ant)
ARTIKEL KE-5
PELANGGARAN DIDUNIA MAYA
Padang (ANTARA News) – Departemen
Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) menetapkan tiga jenis pelanggaran hukum
yang terjadi dalam memanfaatkan sistem komunikasi teknologi informasi atau
dikenal dengan istilah kejahatan di “dunia maya”. Jenis pelanggaran itu diatur
dan ditentukan sanksi hukumnya dalam RUU Informasi dan transaksi elektronik
(ITE) yang akan disahkan DPR, kata Dirjen Aplikasi Telematika, Departemen
Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) RI, Ir Cahyana Ahmadjayadi, dalam
penjelasan tertulis di Padang, Rabu. Hal itu disampaikannya terkait pembahasan
RUU ITE yang tengah dilakukan DPR dan kini dalam tahap sosialisasi kepada
publik dengan melibatkan pemerintah (Departemen Komunikasi dan Informasi RI).
Kejahatan itu meliputi pelanggaran isi situs web, pelanggaran dalam perdagangan
secara elektronik dan pelanggaran bentuk lain.
Kejahatan isi situs web terdiri dari
pornografi dan pelanggaran hak cipta, ujarnya. Pornografi merupakan pelanggaran
paling banyak terjadi di “dunia maya” dengan menampilkan foto, cerita atau
gambar bergerak yang pemuatannya selalu berlindung di balik hak kebebasan
berpendapat dan berserikat. Alasan ini, sering digunakan di Indonesia oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam pornografi itu, sehingga situs-situs porno
tumbuh subur karena mudah diakses melalui internet. Sementara itu, pelanggaran
hak cipta sering terjadi baik pada situs web pribadi, komersial maupun
akademisi berupa memberikan fasilitas download gratis baik foto, lagu,
softwere, film dan karya tulis dilindungi hak ciptanya. Selain itu, menampilkan
gambar-gambar yang dilindungi hak cipta untuk latar belakang atau hiasan “web
pages” dan merekayasa gambar atau foto orang lain tanpa izin, seperti banyak
terjadi pada situs-situs porno. Selanjutnya, kejahatan dalam perdagangan secara
elektronik (e-commerce) dalam bentuk penipuan online, penipuan pemasaran
berjenjang online dan penipuan kartu kredit. Menurut Cahyana, penipuan online
ciri-cirinya harga produk yang banyak diminati sangat rendah, penjual tidak
menyediakan nomor telepon, tidak ada respon terhadap pertanyaan melalui e-mail
dan menjanjikan produk yang sedang tidak tersedia.
Risiko terburuk bagi korban kejahatan ini
adalah telah membayar, namun tidak mendapat produk, atau produk yang didapat
tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Kemudian, penipuan pemasaran berjenjang
online ciri-cirinya mencari keuntungan dari merekrut anggota dan menjual produk
secara fiktif, dengan risiko bagi korban 98 persen investasi ini gagal atau
rugi. Sedangkan penipuan kartu kerdit ciri-cirinya terjadi biaya misterius pada
penagihan kartu untuk produk atau layanan internet yang tidak pernah dipesan,
dengan risiko korban perlu waktu untuk melunasi kreditnya. Sementara itu,
pelanggaran dalam bentuk lain terdiri dari recreational hacker, cracker atau
criminal minded hacker, political hacher, denial of service attack (DoS),
Viruses, Piracy (pembajakan), Fraud, Phishing, perjudian dan cyber stalking. Ia
menjelaskan recreational hacker umumnya bertujuan hanya untuk menjebol suatu
sitem dan menunjukkan kegagalan atau kurang andalnya sistem keamanan pada suatu
perusahaan.
Cracker atau criminal minded hacker
motivasinya antara lain untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan melakukan
sabotase sampai pada penghancuran data. Political hacher merupakan aktivitas
politik melalui suatu situs web untuk menempelkan pesan atau mendiskreditkan
lawan. Denial of service attack (DoS) merupakan penyerangan dengan cara
membanjiri data yang besar dan mengakibatkan akses ke suatu situs web menjadi
sangat lambat atau berubah menjadi macet atau tidak bisa diakses sama sekali.
Viruses berupa penyebaran sedikitnya 200 virus baru melalui internet dan
biasanya disembunyikan dalam file atau e-mail yang akan di download atau
melalui jaringan internet dan disket. Piracy berupa pembajakan perangkat lunak
yang menghilangkan potensi pendapatan suatu perusahaan yang memproduksinya
seperti, games, aplikasi bisnis dan hak cipta lainnya. Fraud merupakan kegiatan
manipulasi informasi khususnya tentang keuangan dengan target mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya.
Phishing
merupakan teknik mencari personal information berupa alamat e-mail dan nomor
account dengan mengirimkan e-mail seolah-olah datang dari bank bersangkutan.
Perjudian bentuk kasino banyak beroperasi di internet yang memberi peluang bagi
penjahat terorganisasi melakukan praktek pencucian uang dimana-mana. Cyber
stalking merupakan segala bentuk kiriman e-mail yang tidak diinginkan
penerimaannya dan termasuk tindakan pemaksaan atau “perkosaan”, demikian
Cahyana Ahmadjayadi.
Referensi :
http://dwimayasuhainingsih.ilearning.me/mata-kuliah/regulasi-dan-hukum-dunia-maya/contoh-pelanggaran-uu-ite-pasal-30-3/
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjBvdWF-_zLAhWBkY4KHQvCDk8QFggaMAA&url=http%3A%2F%2Fkemenag.go.id%2Ffile%2Fdokumen%2FUU1108.pdf&usg=AFQjCNHbdDLlKRxL-gKhc-3D6DAR1-2_WA&sig2=5DniYP87kZ6qxOnyEMiO0w